Jumat, 23 Desember 2011

Perjuangan itu karena ketulusan

Stefanus Wibawa YOT CA Trisakti.

Hari itu saya sedang duduk di depan kantin kecil yang menjual makanan ringan di kampus, Susana tampak seperti biasanya. Ada suara tawa, keheningan bersama buku dan tugas, bapak kantin yang menjajakan barang dagangannya, cleaning service yang sedang manyapu, dan saya bersama beberapa lembar kertas dan botol air mineral yang menemani saya menunggu jadwal ujian berikutnya.

Setelah meneguk air mineral tersebut bapak di kantin kecil di depan saya bertanya, apakah air tesebut di beli dari kantin kecil tersebut, saya katakn tidak karena memang air tersebut saya bawa dari rumah. Dengan anggukan dan senyuman dari bapak tersebutpun menutup perbincangan kami.

Membolak-balik kertas bahan ujian membuat saya lelah dan mulai memandang kesana-kesini. Di tengah-tengah usaha saya untuk menyegarkan diri tersebut saya mendengar ijin pamit dari bapak kantin kepada para cleaning service dan beberapa teman-temannya yang sedang di kantin tersebut, “mau muter-muter dulu” katanya. Beliau mengangkut beberapa kantong plastik dan tempat sajian kue-kue juga goreng-gorengan, yang sebenarnya tidak cukup untuk di bawa sendiri oleh beliau. Terlalu banyak barang dagangan yang dibawanya memaksa bapak tersebut untuk meletakan beberapa barang diatas kealanya, setelah himpitan diantara kedua tangan dengan badannya (di bawah ketiak) sudah terpakai untuk barang yang lain. Sudah pasti kedua belah tangannya sudah penuh terpakai.

Sembari berdiri bapak tersebut berbisik “astafirughlah al azim.. demi sesuap nasi…”

Saya tidak tahu bagaimana dengan anda, tetapi saat itu juga saya terperangah. Di dalam bisikannya itu saya mendengar teriakan rasa lelah, teriakan rasa lapar, jeritan rasa penderitaan, rasa cinta dan kasih demi keluarga, sebuah rasa kehormatan sebagai kepala keluarga. Masih dengan perasaan terharu, saya terus memperhatikan sang bapak kantin yang sedang jalan sedikit membungkuk karena hampir membawa semua barang dagangan yang ada di kantin kecil teresebut.

Ya, malah suara bisikanya tersebut terdengar seperti teriakan di kepala saya. Bisikan yang mungkin sebenarnya untuk memotivasi dirinya sendiri, tetapi terasa begitu berarti di dalam kepala saya. Betapa tulus perjuangan untuk keluarganya. Rasa lelahnya di tepiskan dengan bisikan tersebut. Kepada bapak tersebut kami memanggilnya “mas poy”, selalu ada di kampus dari pagi-pagi hingga larut malam. Mahasiswa/I yang sering berada di kampus hingga larut malam –entah untuk rapat atau kumpul bersama teman- pasti pernah mendapatkan tawaran darinya untuk membeli barang dagangannya. Begitu juga mahasiswa/I yang datang untuk mengikuti kelas pagi pasti ditawarinya makanan untuk sarapan, “guring-guringannya mbak-mas? Hayo yang belum nyarap..”

Bapak tersebut masih ada di dalam penglihatan saya dan terus berjalan menjauhi saya menuju ujung lorong dan kemudian berbelok. Saya masih kagum dengan semangat juang dan ketulusan tersebut. sempat muncul rasa menyesal dengan pertanyaannya yang menanyakan air mineral yang saya minum apakah di beli dari beliau atau tidak, kenapa saya tidak menjawab iya saja, setidaknya saya bisa membantunya dengan keterbatasan saya. tetapi kemudian saya berpikir lagi, jika saya melakukan hal tersebut, yang pasti saya tidak menghargai perjuangan beliau. Lalu bagai mana dengan orang-orang di luar sana? Yang dalam usia produktif memilih untuk mengamen di jalanan, mengemis, di dalam usia produktifnya memilih hangout bersama teman-teman untuk menghambur-hamburkan uang semata demi kesenangan duniawi, di dalam usia produktifnya menggunakan narkoba, di dalam usia produktinya melakukan tindakan kriminal, di dalam usia produktifnya duduk di dalam sebuah posisi bagus didalam suatu perusahaan atau instansi pemerintah yang kemudian melakukan tindakan korupsi, dan lain-lain.

Apakah adil? Apakah hidup ini seadil itu? Ya, saya rasa itu sangat adil. Bukan, bukan karena ketimpangan tingkat sosial dan ekonominya. Tetapi kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Seletih apapun bapak tersebut (mas poy) berjuang hasilnya akan selalu manis untuk keluarganya, beliau dapat tertidur pulas di dalam kelelahannya yang seharian kerja dangan nyaman, dan bersemangat untuk bangun juga meneruskan kembali perjuangannya di dalam hari berikutnya. Berbeda dengan orang-orang yang saya bandingkan dengan bapak tadi, mereka hidup di dalam kesemuan, mereka menjadi duri bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka hidup untuk terus berada didalam ketakutan, ketakutan untuk tidak mendapatkan narkoba, ketakutan untuk berjuang sehingga menghalalkan segala cara, dan segala ketakutan lainnya untuk dapat hidup dengan tenang dan berusaha dengan tulus untuk dirinya dan keluarganya yang lain.

Bisikan itu… “astafirughlah al azim.. demi sesuap nasi…”” telah menginspirasi saya untuk tulus dalam perjuangan saya. Terimakasih mas poy..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar